Pendahuluan
Otoritarianisme atau otokrasi di era demokrasi pos modern ini merupakan daur ulang dari model kekuasaan sebelumnya. Semua negara pernah mengalami politik otoriter, politik terpimpin atau kekuasaan otoriarianisme dalam sistem pemerintahannya, tidak terbatas pada sistem monarki, namun juga dalam sistem demokrasi. Mengutip buku Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia (2007), otoritarianisme atau paham politik otoriter adalah bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu. Dikutip dari Britannica, otoritarianisme merupakan kepatuhan buta terhadap otoritas, sebagai lawan dari kebebasan berpikir dan bertindak individu.
Beberapa negara yang menerapkan sistem demokrasi otoritarian tetap melaksanakan pemilu untuk menjaga kekuasaan otoritarian ini. Pemilu digelar namun terarah, dimana rakyat dengan tidak sadar maupun di bawah tekanan tergiring untuk melanggengkan legitimasi kekuasaan otoriter. Bagian dari sejarah bangsa bahwa Indonesia pernah melakukan ini dalam era demokrasi terpimpin dan hampir berlanjut di era orde baru. Di era reformasi, otoritarianime terkubur dalam sejarah kelam bangsa, sehingga di era paska reformasi sangat tidak relefan bila ada kekuatan tertentu yang ingin membangunkan kembali otoritarianme ini dalam berbagai bentuknya.
Tulisan ini ingin mengulik perkembangan otoriatarian dalam riset dan teknologi nasional, dengan tidak mengesampingkan apresiasi kepada pemerintah yang telah berusaha membangun jalan baru dengan meleburkan sekian banyak lembaga penelitian plat merah menjadi satu ‘kerajaan besar’ BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional. Tulisan ini juga akan memberikan kritikan dan saran agar arah Indonesia Maju bisa berbarengan dengan majunya riset, teknologi dan industri nasional.
Demokrasi mayoritas vs. Demokrasi Otoritarian
RRT dan Rusia bisa dikatakan sebagai negara yang apik dalam memainkan otokrasi dan mampu mengadopsi strategi untuk mengubah tatanan internasional. Kedua negara ini sepertinya mampu melihat bahwa tatanan internasional yang berlaku sebagai antitesis terhadap kepentingan kekuasaan global mereka. Pun dalam penguasaan teknologi, kedua negara ini bisa menggiring secara paksa arah kemajuan riset dan teknologinya, sehingga bisa dikatakan menjadi poros teknologi dunia.
Sebagaimana dilansir oleh China Justice Observer (CJO), RRT memiliki sembilan partai politik. Partai Komunis China sebagai partai penguasa tunggal dan delapan partai lainnya sebagai “delapan partai demokrasi”. Konstitusi mengatur sistem partai politik RRT sebagai sistem kerjasama multi partai dan konsultasi politik yang dipimpin oleh Partai Komunis China (PKC).
Sementara itu Rusia mengubah sistem partai tunggal menjadi sistem multi partai yang membuat suasana kebangkitan partai-partai politik baru. Dalam perkembangannya partai-partai politik Rusia dapat dikategorikan menjadi empat kelompok yaitu kelompok demokrat-reformis, kelompok tengah yang pro-pemerintah, kelompok nasional patriotis, dan kelompok komunis-agraria kiri. Keempat karakter partai-partai politik tersebut mewarnai kehidupan politik dengan menuntut diadakannya pemilihan umum untuk memilih anggota Parlemen. Partai pemenang mayoritas sekarang adalah Partai Rusia Bersatu yang mengantarkan Vladimir Putin menjadi presiden.
TIdak dipungkiri, bahwa otoritarian Rusia dan RRT ini sukses juga dalam konteks hubungan internasional. Ini karena mereka menerapkan Artificial Intelligence Diplomacy. Diplomasi AI ini sebenarnya digadang-gadang oleh Ulrike FRANKE, dari European Council on Foreign Relations, yang aslinya adalah untuk penguatan Uni Eropa dalam mengelola sumber daya dan sebagai alat untuk kebijakan ekternal. Artificial Intelligence (AI) ini menjadi alat politik kekuasaan dan elemen diplomasi negara. Uni Eropa (UE) memanfaatkan diplomasi AI terutama dari sudut ekonomi, sosial, dan peraturan. AI memengaruhi kekuatan geopolitik Uni Eropa dan hubungannya dengan negara lain. Ini menyajikan skenario yang mungkin tentang bagaimana AI dapat mengubah keseimbangan kekuatan internasional dan merekomendasikan cara bagi UE dan negara anggotanya untuk merespon.
Ulrike FRANKE merilis laporan bahwa AI memengaruhi kekuatan geopolitik Uni Eropa dan hubungannya dengan negara lain meliputi enam bidang; yaitu peran AI dalam persaingan Tiongkok-Amerika; penggunaan AI untuk kontrol otoriter dan melemahnya demokrasi; nasionalisme AI; kontribusi AI terhadap peningkatan kekuatan sektor swasta versus negara; dan dampak AI pada kekuatan militer dan sektor pertahanan.
Otoritarian Riset, Sentralisasi Menduplikasi CAS
Salah satu negara yang mampu mengelola riset dan lembaga riset dan telah berhasil memajukan risetnya adalah Tiongkok. Melalui Chinese Academy of Sciences (CAS), negeri Panda ini telah mampu mendorong riset untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Seperti diketahui, CAS merupakan Lembaga think tank nasional Tiongkok yang berperan sebagai lokomotif untuk mendorong teknologi dan inovasi nasional.
CAS sejak berdirinya tahun 1949 telah memposisikan sebagai Lembaga yang mendukung pengembangan iptek serta memberikan kebijakan nasional maupun timbangan strategis dalam bidang tersebut kepada pemerintah RRT. CAS ini menjadi lembaga otoritarian riset dan teknologi, memiliki 114 institusi riset, 8 universitas dan Supporting Organizations, institusi overseas di 9 negara, 13 holding company, ratusan perusahaan spin-off, 13 kantor cabang, 47 pusat ilmu pengetahuan teknik, 13 kebun raya, 26 herbarium, dan 89 laboratorium berstandar internasional yang tersebar di berbagai wilayah di Tiongkok.
Hemat penulis ada dua hal yang patut dicermati terkait CAS dan hubungannya dengan sentralisasi institusi riset di Indonesia. Pertama, keberhasilan CAS di dalam mengembangkan riset dan teknologi RRT itu karena didukung sistem politik partai penguasa tunggal di dalam pemerintahan RRT. PKC sebagai penguasa tunggal tentunya dapat mendikte CAS untuk membangun platform iptek pada level nasional dan mengimplementasikan kebijakan nasional yang searah dengan kebijakan partai (PKC).
Kedua, penggabungan badan dan lembaga riset nasional ke dalam satu payung besar BRIN adalah patut ditengarai sebagai langkah duplikasi CAS ke dalam strategi pengembangan riset dan teknologi nasional Indonesia. Maknanya adalah pembentukan BRIN dalam rangka menciptakan pola tatanan baru otoritarian riset dan teknologi di bawah kendali pemerintah berkuasa sekarang. Namun yang perlu dicermati bersama, bahwa sistem pemerintahan kita adalah koalisai partai dan tidak ada partai tunggal berkuasa, sehingga cengkeraman pemerintah atau partai pemenang pemilu kepada BRIN sangat lemah. Alih-alih untuk menyusun arah baru dan strategi IPTEK nasional, yang ada justru kegamangan masuknya kekuatan politik ke dalam independensi pengelolaan IPTEK nasional.
Otoritarianisme Digital
Teknologi digital telah memberi kepada pemerintah alat untuk berkomunikasi dengan rakyatnya, memahami sentimen populer, mengevaluasi potensi biaya politik dan menyesuaikan kebijakan pemerintah. Dengan alat yang sama, telah memberi pemerintah otokratis dan tidak liberal kemampuan untuk tetap berkuasa. Para pemimpin dan pemerintah otokratis telah belajar memanfaatkan digitalisasi. Mereka telah belajar bahwa kelangsungan hidup rezim dapat bergantung pada kapasitas mereka untuk menyebarkan dan mempersenjatai teknologi terhadap warga negara mereka sendiri.
Selain itu, banyak teknologi yang digunakan untuk otoritarianisme digital dikembangkan dan dijual oleh perusahaan teknologi yang sarat dengan kepentingan mereka. Tidak dipungkiri, bahwa produk-produk digital negara Barat terlibat dalam pengawasan dan pasar teknologi yang dapat menguntungkan rezim represif.
R&D, GII Indonesia dan Ekspor Impor
Respons pasar yang positif mendorong sektor industri untuk terus meningkatkan investasi dalam hal R&D. Hal ini bisa dilihat dari data Global Innovation Index (GII) yang dikeluarkan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO), yang memberikan penilaian kepada negara-negera berteknologi menggunakan 7 pilar kriteria, yaitu (1) infrastruktur, (2) kecanggihan pasar, (3) keluaran pengetahuan dan teknologi, (4) keluaran kreatif, (5) institusi, (6) sumber daya manusia dan penelitian, dan (7) kecanggihan bisnis. WIPO menempatkan posisi GII Indonesia tahun 2021 di urutan 87 dari 132 negara kategori fitur ekonomi, posisi ke 27 dari 34 negara pemilik Pendapatan Domestik Bruto (PDB), dan posisi ke 14 dari 17 negara Asia, Asia Timur dan Oseania, Indonesia. Dibanding tahun 2020, GII Indonesia posisi turun dari urutan 85 ke urutan 87.
Posisi Indonesia di papan menengah bawah GII bisa dibedah dari gambaran tentang kekuatan dan kelemahan inovasi. Yang menjadi kekuatan adalah faktor perdagangan/ekspor impor, skala pasar domestic dan GDP. Hal ini sesuai dengan rilis BPS tahun 2022 dimana nilai perdagangan cenderung naik dan terutama dua tahun terakhir ini nilai ekspor melebihi nilai impor. Sedangkan faktor kelemahan yang cukup fatal adalah regulasi lingkungan, ratio artikel ilmiah dibanding GDP dan kurangnya knowledge worker. Kelemahan ini menunjukkan lemahnya pembangunan riset dan teknologi (inovasi). Alih-alih untuk menciptakan ketahanan nasional di bidang riset, teknologi dan industri, untuk sekedar melanjutkan cetak biru dan menyempurnakannya saja kita tidak mampu. Hal ini ditengarai karena kuatnya nuansa otoritarian penguasa dalam memformat ulang arah riset dan teknologi nasional yang justru dikawatirkan salah arah dan mengulang capaian jauh ke belakang.
Temuan WIPO mengapa GII Indonesia dan secara umum negera muslim berkembang lainnya, selaras dengan yang disinyalir buku Sains Religius Agama Saintifik, adalah minimnya anggaran riset yang disebabkan antara lain pertama, karena prioritas/orientasi pembangunan jangka pendek yang fokus untuk mengatasi kebutuhan dasar dan mendesak seperti mengentaskan kemiskinan dan penyakit terutama di masa pandemi. Kedua, kebijakan pemerintah yang diambil cenderung memilih menjadi konsumen barang jadi impor, cenderung menjadi konsumen produk teknologi daripada mengembangkan sendiri teknologi. Ketiga, sistem politik otoritarian sehingga kreatifitas dan inovasi teknologi tidak berkembang dan dibatasi oleh kepentingan politik dan oligarki. Dan keempat, kurang matangnya kualitas pendidikan nasional dari segi kebijakan pedidikan, infrastruktur pengembangan sain dan teknologi, dan sumber daya Pendidikan.
Saran Konstruktif
Memperhatikan lesunya perkembangan riset dan teknologi (inovasi) yang berdampak terhambatnya perkembangan industry strategis, dan kondisi pengusaan IPTEK yang tidak tercerminkan ke dalam pertumbungan industri nasional, berikut beberapa hal sebagai catatan untuk perbaikan.
- Tidak memaksakan politik praktis ke dalam kebijakan riset dan teknologi nasional. Otoritarian kekuatan politik tertentu dan atau oligarki tidak bisa dipaksakan untuk mengarahkan kemajuan riset, teknologi dan industri, karena sistem demokrasi Indonesia berbeda dengan RRT.
- Pemanfaatan digital teknologi agar tidak dipakai untuk penggalangan massa yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan dan memdorong shifting process menuju otoritarian. Penggunaan digital teknologi dan diplomasi artificial intelegent selayaknya untuk menguatkan ketahanan nasional dan menangkal penetrasi asing dalam berbagai bentuknya.
- Perlunya segera membuat konsensus nasional dari seluruh pemangku kebijakan untuk menentukan arah baru riset dan teknologi yang berorientasi ketahanan industri nasional. Penguatan industri nasional akan memberikan dampak ekonomi yang rigid yang bisa dirasakan seluruh anak bangsa.
*Dr. Marsudi Budi Utomo, Direktur Kajian Teknologi RETaS Institute
Tulisan Opini RETaS Indonesia © 2022 Research on Economics, Technology and Strategic Studies Tulisan Opini RETaS bertujuan untuk meyampaikan opini public terkait topik terkini agar informasi dapat dengan cepat menyebarluas sehingga mendorong pertukaran ide. Penulis menerima komentar berkaitan dengan Tulisan Opini ini. Pandangan yang diungkapkan di sini adalah hasil pemikiran dari penulis dan sudah mendapatkan verifikasi dari Reviewer RETaS.